Industry Updates

Sungai Thames: Sumber Penularan Kolera yang Menjadi Salah Satu Sungai Paling Bersih di Dunia

Sungai Thames terletak di sebelah selatan Inggris dan mengalir sepanjang 330 kilometer, menjadikannya sungai terpanjang di Inggris. Sungai yang membelah jantung kota London ini tidak hanya menjadi destinasi pariwisata, tetapi juga menjadi habitat bagi 125 spesies ikan dan 400 spesies invertebrata yang tinggal di dasar sungai.

Two landmarks of England, Big Ben and the London Eye, are located near the Thames River Source: cdn.londonandpartners.com
Big Ben dan London Eye yang berada di samping sungai Thames. Sumber: cdn.londonandpartners.com

Meski begitu, kondisi sungai Thames yang seringkali dinobatkan sebagai salah satu sungai paling bersih di dunia tidak selalu seperti sekarang ini. Bahkan, sungai Thames pernah dinobatkan sebagai sungai mati.

Pernah Dijuluki “The Great Stink” alias “Yang Sangat Bau”

Di zaman Victoria, segala macam limbah mulai dari limbah pabrik, air selokan yang tidak diolah, sampai dengan limbah rumah potong hewan, semuanya berakhir di sungai Thames. Limbah-limbah inilah yang menjadi awal mula tercemarnya sungai Thames, yang kemudian diperparah oleh adanya Perang Dunia II.

Peristiwa-peristiwa pengeboman di masa Perang Dunia II tidak hanya merusak bangunan, tetapi juga menghancurkan fasilitas-fasilitas pengolahan limbah, dan sebagai akibatnya menyebabkan limbah tersebut tumpah ke dalam sungai Thames.

Di musim panas tahun 1857, orang-orang mulai terganggu oleh bau busuk tak tertahankan yang berasal dari sungai Thames, yang diperparah oleh gelombang panas yang menerpa kota London. Polusi yang begitu parah membuat kandungan oksigen di dalam sungai begitu rendah, dan sebagai gantinya tidak ada makhluk hidup yang mampu bertahan.

Sungai yang tadinya dijuluki sebagai “Permata London” pada masa itu mendapat panggilan The Great Stink, atau “Yang Sangat Bau”. Karena kondisi inilah, sungai Thames dinyatakan “mati secara biologis” oleh Natural History Museum di tahun 1957.

Sungai Thames Sempat Menjadi Pusat Penularan Kolera

Keberadaan sungai memegang peranan penting tidak hanya bagi makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, tetapi juga bagi orang-orang yang kehidupannya bergantung kepada sungai untuk berbagai keperluan, tidak terkecuali sungai Thames.

An Illustration of Michael Faraday when checking the water quality of the Thames river. Faraday himself is a scientist who focused on the cleaning efforts of the Thames river. Source: www.choleraandthethames.co.uk
Ilustrasi Michael Faraday yang sedang mengetes kualitas air sungai Thames. Faraday sendiri merupakan seorang peneliti yang berfokus pada upaya pembersihan sungai Thames. Sumber: www.choleraandthethames.co.uk

Menjadi sangat ironis ketika sungai Thames yang tercemar sebegitu parahnya ternyata merupakan sumber utama air minum untuk orang-orang di kota London. Akibatnya, wabah kolera merebak di tahun 1832 dan bertahan selama 22 tahun lamanya.

Peristiwa ini juga merenggut tidak kurang dari 35,000 nyawa. Awalnya, orang-orang London belum tahu bahwa penyebab dari wabah kolera tersebut adalah air yang mereka minum. Mereka menganggap bahwa penyebabnya adalah bau tidak sedap yang berada di atmosfer, disebut juga dengan istilah “miasma”.

Barulah ketika Robert Koch menemukan bakteri kolera, teori Dr. John Snow tentang korelasi mengkonsumsi air sungai yang kotor dan penyebaran penyakit kolera dapat dibuktikan secara ilmiah. Wabah kolera ini baru dapat ditangani ketika proses restorasi sungai Thames sudah mulai dijalankan.

Upaya yang Dilakukan untuk Merestorasi Sungai Thames

Berita tentang kondisi sungai Thames yang sudah begitu parah akhirnya mencapai pihak Parlemen di tahun 1857. Bersamaan dengan merebaknya wabah kolera, Parlemen didorong untuk mengesahkan undang-undang mengenai rencana pembersihan sungai Thames.

Rencana itu pun baru disepakati di tahun 1865, dimana seorang insinyur bernama Joseph Bazalgette ditunjuk untuk memimpin rencana pembuatan sistem selokan, stasiun pemompa, serta tanggul dalam rangka membersihkan sungai Thames, menghentikan wabah kolera, serta menyokong kehidupan masyarakat di kota London.

Salah satu solusi restorasi Sungai Thames yang dilakukan di masa itu adalah membangun tanggul untuk mempersempit badan sungai guna meningkatkan laju aliran air. Peningkatan kecepatan aliran air ini diharapkan dapat mempercepat proses penggerusan untuk membersihkan sungai.

Joseph Bazalgette membangun beberapa tanggul di sepanjang Sungai Thames, mulai dari tanggul  Victoria di tahun 1870, tanggul Albert di tahun 1868, dan tanggul Chelsea di tahun 1874. Jika ditotal, panjang semua tanggul-tanggul tersebut mencapai 3,5 mil.

Pembuatan sistem tanggul dan selokan itu berhasil membuat Sungai Thames tidak lagi berbau, namun kondisi airnya tetap belum bisa mendukung kehidupan bagi biota sungai. Apalagi dengan masuknya era revolusi Industri di tahun 1750-1850 dan bertambahnya jumlah penduduk di kota London yang menjadi beberapa alasan mengapa kondisi Sungai Thames belum bisa diperbaiki sepenuhnya.

Sejak tahun 1960, misi dan rencana untuk membersihkan sungai Thames kembali dilakukan, diantaranya dengan memperbaiki cara dan fasilitas pengolahan limbah, pembersihan limbah industri, penambahan oksigen di dalam sungai dengan alat yang disebut bubble boats (kapal gelembung), sampai pada penggunaan deterjen biodegradable.

Selain itu, di tahun 1970 dan 1980-an, bersamaan dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap kondisi lingkungan, muncul kekhawatiran terhadap pestisida dan pupuk kimia yang terbawa aliran air hujan dan berakhir di sungai Thames. Permasalahan ini kemudian diatasi dengan pembuatan peraturan yang lebih ketat mengenai pestisida.

Selain itu, pinggiran sungai Thames yang tadinya terbuat dari beton juga dirombak dan diganti menjadi batuan dan puing-puing. Puing-puing tersebut akan menciptakan sedimen dan lumpur yang menjadi habitat ideal untuk pertumbuhan tanaman air yang akan menyokong kehidupan makhluk hidup di dalam dan sekitar sungai.

Ducks are seen standing on the banks of the Thames river. Source: Duncan Veere Green/Alamy Stock Photo
Beberapa ekor ebek yang sedang berdiri di pinggiran sungai Thames. Sumber: Duncan Veere Green/Alamy Stock Photo

Kondisi Sungai Thames Kini

Di tahun 1950, hampir tidak ada kehidupan yang ditemukan di perairan sungai Thames. Kemudian di tahun 1974, ikan salmon yang pertama mulai kembali ke sungai Thames. Kini, sungai Thames kaya akan kehidupan, baik di dalam maupun di permukaan air. Di dalam air, terdapat beraneka ragam jenis ikan, salah satunya salmon. Di permukaan, bebek dan unggas air lainnya hidup dan berkembang biak di lingkungan sekitar sungai.

Fish who have started appearing in the Thames river. Source: Richard Cooke/Alamy Stock Photo
Ikan-ikan yang mulai kembali berenang di perairan sungai Thames. Sumber: Richard Cooke/Alamy Stock Photo

Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komunitas Zoologi London dari tahun 2004 sampai tahun 2014, sebanyak 2000 ekor anjing laut dan ratusan lumba-lumba ditemukan di sungai Thames.

 Anjing laut (phoca vitulina) yang tertangkap kamera sedang berenang di permukaan sungai Thames. Sumber: Chris Laurens/Alamy Stock Photo

Anjing laut (phoca vitulina) yang tertangkap kamera sedang berenang di permukaan sungai Thames. Sumber: Chris Laurens/Alamy Stock Photo

Upaya merestorasi sungai Thames juga membuat sungai tersebut memperoleh penghargaan Theiss River di tahun 2010 yang bernilai 220,000 poundsterling. Penghargaan ini diberikan kepada sungai yang telah melalui proses restorasi yang luar biasa, dan sungai Thames bersaing dengan tiga sungai lain, yaitu Yellow River  di Cina, danau Hattah di Australia, serta Sungai Smirnykh di Jepang.

Menilik Kondisi Sungai di Indonesia

Proses restorasi sungai Thames tidak hanya melibatkan pemerintah Inggris, tetapi juga didukung oleh kesadaran masyarakat Inggris terhadap pentingnya melindungi sungai Thames dari pencemaran, karena mereka sudah merasakan sendiri dampak negatif dari sungai yang tercemar.

Menjaga dan mempertahankan kondisi sungai Thames hingga seperti sekarang ini merupakan proses yang tidak pernah berhenti, dan Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses restorasi ini.

Sebagai negara yang memiliki banyak sungai, (dan masyarakat yang bergantung kepada sungai-sungai tersebut), Indonesia menghadapi permasalahan yang tidak berbeda jauh dibandingkan sungai Thames, yaitu soal pencemaran.

Bahkan, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa selama tahun 2013, dari 57 sungai di Indonesia yang dipantau kualitas airnya, 75 persennya sudah tercemar berat, terutama oleh limbah domestik.

Children were seen playing in the polluted Citarum river in West Java.  Photo credit: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Anak-anak yang tengah bermain di sungai Citarum yang terletak di Jawa Barat. Kredit foto:: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Sungai Citarum yang terletak di Jawa Barat misalnya, dinobatkan menjadi salah satu sungai terkotor di dunia. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa ada sekitar 1.900 industri di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, dan 90% di antaranya tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah yang memadai. Akibatnya, sebanyak 340.000 ton limbah dibuang begitu saja ke dalam sungai setiap harinya.

Selain itu, sungai Citarum juga tercemar limbah domestik, dari mulai sampah rumah tangga hingga kotoran manusia. Jumlah sampah rumah tangga mencapai 20.462 ton per hari, dan 71% tidak terangkut ke TPA. Sebanyak 35.5 ton/hari kotoran manusia dan 56 ton/hari kotoran hewan ternak juga langsung dibuang ke sungai Citarum. Padahal, ada 30 juta orang yang hidup dan bergantung kepada sungai Citarum.

Layaknya sungai Thames yang sempat dinyatakan mati, sudah sepatutnya kita mulai bertindak sebelum nasib yang sama menimpa sungai-sungai di Indonesia.  

Jaga Sungai Kita Tetap Bersih!

Selain adanya peraturan dan penegakkan peraturan yang ketat tentang pengolahan limbah dalam proses restorasi sungai Thames, hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi pencemaran sungai adalah dengan memiliki sistem manajemen sampah yang bertanggung jawab.

Manajemen sampah menjadi penting karena menurut data KLHK di tahun 2015, sebanyak 8.5% dari total 175.000 ton sampah yang dihasilkan per harinya tidak tertangani, yang kemudian dapat masuk ke sungai, saluran air, atau bahkan lautan.

Setiap orang dapat menjadi bagian dari solusi dengan menerapkan sistem pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, yang dapat dimulai dengan kegiatan pilah sampah. Waste4Change menyediakan jasa pengelolaan sampah yang secara garis besar terbagi menjadi dua jenis, yaitu servis bernama Zero Waste to Landfill (ZWTL), dimana kami memastikan bahwa sampah dari klien-klien kami tidak berakhir di TPA (dan juga bukan di sungai), serta jasa pengangkutan sampah individu.

Nantinya, setiap individu yang sudah melakukan pilah sampah dapat mengirimkan sampahnya ke Waste4Change untuk kemudian didaur ulang secara maksimal.

Menjaga dan melindungi sungai dari sampah berarti turut menjaga hajat hidup orang banyak yang kehidupannya bergantung kepada sungai-sungai tersebut. Jika sungai Thames bisa direstorasi menjadi sedemikian rupa, maka bukanlah hal yang tidak mungkin untuk melakukan hal yang sama terhadap sungai-sungai di Indonesia Setiap orang memiliki peranannya masing-masing, dimulai dari rumah, dengan sistem pengelolaan sampah yang bertanggung jawab.

Membutuhkan jasa pengangkutan sampah yang bertanggung jawab dan terpilah? Silahkan menghubungi Waste4Change!

Baca artikel versi Bahasa Inggris/English version di sini.

Referensi:

Posted on Last Updated on
Bagikan Artikel Ini

Mulai Pengelolaan Sampah
Secara Bertanggung Jawab
Bersama Waste4Change

Hubungi Kami