Solusi Menyeimbangkan Produksi & Pengelolaan Sampah di Indonesia: Extended Producer Responsibility

Sebuah kemasan produk hadir dengan tujuan untuk menjaga kualitas barang dari berbagai situasi. Terdapat berbagai macam wujud dari kemasan, salah satunya tergantung dari jenis material pembentuknya yaitu plastik. Sayangnya, kemasan plastik hampir selalu berakhir menjadi sampah dan turut memperparah permasalahan sampah yang ada. Diperlukan kontribusi dari konsumen juga produsen, salah satunya melalui upaya Extended Producer Responsibility.

Extended Producer Responsibility

Sebagai ilustrasi, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) menunjukkan, antara tahun 1960 sampai 2015, jumlah sampah kemasan meroket dari 27 juta ton menjadi 78 juta ton. Meningkat sebanyak 185%. Maka dari itu, tidak hanya menekankan konsumen untuk giat melakukan daur ulang, tanggung jawab mengelola sampah kemasan sejatinya juga menjadi tugas bagi produsen sebagai penghasil produk dalam kemasan.

Besar Pasak Daripada Tiang

Fasilitas pendukung perekonomian di Indonesia berkembang lebih pesat dibandingkan fasilitas manajemen persampahan. Salah satu pendukung aktivitas perekonomian tersebut adalah sektor retail. Survei Dataindonesia.id pada 2021 menunjukkan terdapat 3.614.719 retail di Indonesia, terdiri dari kelontong tradisional, toserba, supermarket, hypermarket, dan retail forecourt. Sementara, data per Februari 2023 dari SIPSN KLHK RI menunjukkan ada 61.788 pengelolaan sampah di Indonesia yang terdiri dari TPS 3R, Bank Sampah, TPA, TPST, fasilitas waste-to-energy, rumah pengomposan, dan sektor informal persampahan. 

Ketimpangan jumlah antara fasilitas pendukung perekonomian dan fasilitas pengelolaan sampah merupakan salah satu alasan mengapa timbulan sampah di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding tingkat daur ulangnya. Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien menyatakan bahwa Indonesia menghasilkan rata-rata 67,8 juta ton sampah per tahun tapi hanya 11-12% yang berhasil didaur ulang. 

Gap Antara Edukasi dan Pengadaan Teknologi

Salah satu kendala pengelolaan sampah yang sering ditemukan adalah kurangnya edukasi dan pemahaman masyarakat terkait teknologi pengelolaan sampah yang disediakan. Beberapa TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) mangkrak karena masyarakat lokal belum benar-benar memahami penggunaan teknologi pengelolaan sampah. Baik itu dari segi teknis maupun manfaat. TPS 3R yang sedianya merupakan fasilitas pemilahan sampah anorganik menjadi lebih detail dan pengolahan sampah organik tidak diberdayagunakan dengan optimal. Sampah kembali tercampur, bahkan mungkin kembali mencemari lingkungan.

Mengubah kebiasaan masyarakat untuk mengelola sampah dengan lebih bijak bukan perkara mudah. Membakar, mengubur, dan membuang sampah ke sungai masih dianggap lebih praktis di beberapa area. Membayar iuran pengelolaan sampah dan menunggu sampah dijemput oleh petugas persampahan yang resmi pun baru diperuntukkan bagi beberapa masyarakat saja.

Edukasi & Pengadaan Fasilitas Butuh Biaya

Keberlanjutan bukan hanya didukung oleh sosial dan lingkungan, tapi juga pembiayaan. Selain adanya gap antara edukasi dan teknologi, pembiayaan merupakan aspek lainnya yang seringkali menjadi masalah. Edukasi dan pengadaan fasilitas butuh biaya, inovasi membutuhkan biaya. Tidak bisa dipungkiri ekonomi seakan menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, roda ekonomi yang berjalan membuka peluang untuk pengadaan fasilitas manajemen sampah yang lebih baik. Sayangnya, hal ini juga menambah risiko menumpuknya sampah akibat konsumerisme.

Pembiayaan menjadi lebih rumit di area dimana ekosistem pengelolaan sampahnya belum mumpuni. Belum ada agen daur ulang untuk mendukung berjalannya bank sampah. Jarak dari TPS ke TPA terdekat cukup jauh. Jalur transportasi belum bersahabat untuk kendaraan pengangkut sampah. Masyarakat butuh lebih dari sekadar imbauan untuk mengelola sampah lebih baik. Sistem perlu dibangun agar sosial, ekonomi, dan lingkungan bisa berjalan berdampingan.

Extended Producer Responsibility: Solusi Hulu ke Hilir Persampahan

Ada 5 aspek manajemen persampahan, namun di dunia modern ini, pembiayaan masih menjadi aspek yang dapat ikut mendukung ketercapaian 2 aspek lainnya yaitu operasional dan sosial. Kelembagaan dan regulasi merupakan sarana penting untuk menjaga agar semuanya bisa bahu-membahu menuju tujuan yang sama, tapi semua tidak bisa berjalan tanpa adanya pembiayaan, operasional, dan sosial.

Jika dilihat dari aspek pembiayaan, saat ini produsen masih merupakan pemegang kepentingan yang memiliki peluang dan akses lebih untuk dapat mengurangi permasalahan sampah dari hulu ke hilir. Pendekatan Extended Producer Responsibility (EPR) tidak hanya bisa diterapkan dalam pengumpulan dan daur ulang kemasan bekas pakai konsumen, tapi juga bisa diperluas hingga usaha edukasi, penggunaan material kemasan yang bisa didaur ulang, perbaikan sarana dan prasarana, dan pengadaan fasilitas daur ulang di titik-titik strategis.

Usaha Extended Producer Responsibility ini juga bisa menjadi pilihan bagi produsen untuk mengurangi kemasan plastik untuk mewujudkan plastic neutrality. Yaitu kontribusi membantu daur ulang sampah kemasan plastik di lingkungan sejumlah produksi kemasan plastik yang dihasilkan dari proses produksi dan distribusi.

Inisiatif Produsen Perlu Payung Hukum

Pada tahun 2019, KLHK meresmikan Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang diatur dalam Permen LHK 75/ 2019. Dalam peraturan tersebut, produsen diimbau untuk memberikan rancangan pengurangan sampah kemasan dari hulu ke hilir. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontribusi untuk mewujudkan Indonesia Bersih Sampah 2025.

Permen LHK 75/ 2019 merupakan langkah awal yang baik untuk persampahan Indonesia, namun perjalanan masih panjang. Penegakan Permen LHK 75/2019 perlu diperkuat lebih dari sekadar imbauan. Perlu juga ada penilaian dan standar yang jelas serta daftar jenis sampah yang wajib untuk dilaporkan, tidak hanya sekadar plastik, kaca, dan logam. Sebagai tindak lanjut, diperlukan juga peraturan lainnya yang bisa mendukung terbentuknya ekosistem yang mendukung usaha produsen dalam menciptakan peta jalan pengurangan sampah, salah satunya pelaku daur ulang.

Pada dasarnya, seiring meningkatnya permintaan konsumen akan brand yang memenuhi usaha pelestarian lingkungan, produsen pun mulai melirik peluang untuk melakukan EPR. Hanya saja, tidak semua inisiatif produsen bisa diwujudkan di Indonesia. Dengan adanya kolaborasi antara produsen, konsumen, dan pemerintah, diharapkan semua pihak bisa membantu menyeimbangkan produksi sampah dan jumlah sampah terdaur ulang.

Elma Elkarim

Sustainable Financial Policy Analyst Waste4Change

Sebagai salah satu tim konsultan senior di Waste4Change, Elma telah melakukan riset terkait manajemen sampah di banyak lokasi di Indonesia.

Related Post