Tidak hanya terjadi di daratan, polusi akibat sampah bisa juga terjadi di lautan. Melansir data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diketahui wilayah laut di Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram per meter persegi pada 2020. Itu baru di Indonesia saja, belum terhitung pencemaran laut di seluruh dunia. Oleh karena itu hadir aturan Marpol yang berguna untuk mencegah laut disalahgunakan jadi tempat sampah.

Page Contents
Apa Itu Marpol 73/78 dan Tujuannya
Pencemaran laut bisa berasal dari sampah-sampah di darat yang mengalir hingga ke laut, atau sampah akibat kegiatan pelayaran, kelautan dan perikanan. Misalnya transportasi laut dengan kapal, pengangkutan minyak dari pulau satu ke pulau lain, jasa angkut sampah antar pulau dan juga sampah dari industri perikanan.
Untuk menangani permasalahan sampah di laut dan mengurangi dampak dari pencemaran laut, dibuatlah aturan Marpol 73/78 (Marine Pollution). Aturan ini dibuat dan dijalankan di bawah Organisasi Maritim Internasional atau International Maritime Organization (IMO). Fokusnya ke arah pencegahan polusi sampah laut. Aturan ini dibahas dan disahkan dalam sidang IMO yang membahas soal International Conference on Marine Pollution. Hasilnya adalah penetapan aturan Marpol 73/78 atau International Convention for the Prevention from Ship tersebut.
Tujuan dari dibuatnya Marpol 73/78 adalah untuk mencegah polusi di laut. Sebabnya mencakup oli, bahan kimia, muatan berbahaya, air limbah, sampah, gas berbahaya, air ballast dan kegiatan manusia di laut lainnya. Aturan Marpol 73/78 tidak hanya membahas soal peraturan jasa angkut sampah yang menyeberangi laut saja, tapi juga mencakup peraturan-peraturan lain dalam enam Annex. Diharapkan dengan adanya peraturan ini, permasalahan sampah dan polusi di laut bisa terselesaikan.
Sejarah Marpol 73/78
Kehadiran aturan Marpol 73/78 memiliki sejarah panjang berkaitan dengan teknologi perkapalan dan perminyakan. Berawal dari peluncuran kapal pengangkut minyak pertama yang bernama GLUCKAUF pada tahun 1885. Tiga tahun kemudian, kapal ini menggunakan diesel sebagai mesin penggerak utama, dan inilah yang menjadi pemicu awal fenomena pencemaran laut oleh minyak. Tetapi, baru 40 tahun kemudian, tepatnya tahun 1926, masalah pencemaran laut ‘diterima’ di konferensi internasional di Washington DC “The International Conference on Pollution of Sea by Oil”.
Setelah itu, pembahasan mengenai pencemaran laut akibat minyak mulai disoroti. Mulai dari lahirnya The International Sea Pollution Agreement di tahun 1934, Oil International Convention di tahun 1954, hingga akhirnya lahir konvensi IMO pada tahun 1958 di Jenewa, dengan nama awal Inter-Governmental Maritime Consultative Organization (IMCO). Baru di tahun 1982, IMCO berubah menjadi IMO yang berlaku hingga sekarang. Dari konferensi organisasi ini, lahir aturan Marpol 73/78 yang disahkan pada 2 November 1973 yang berlaku hingga sekarang.
Kejadian tubrukan kapal tanker Torrey Canyon pada tahun 1967 yang mengakibatkan tumpahan minyak mentah sebanyak 35 juta galon, menjadi salah satu faktor pendorong kelahiran aturan ini. Aturan Marpol 73/78 ini berisi tentang ketentuan pencemaran laut oleh minyak, bahan kimia, bahan berbahaya dalam pengiriman oleh jasa angkut sampah dan limbah lewat laut. Seiring berjalannya waktu, aturan ini membahas lebih banyak aturan yang berkaitan dengan pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas industri di laut.
Inggris menjadi negara pertama yang mempelopori lahirnya konvensi ini. Disusul itu, makin banyak negara yang ikut terlibat. Di tahun 2018, ada 156 negara yang berpihak pada konvensi ini. Dan, hingga saat ini, ada 175 negara yang tergabung sebagai anggota IMO dan ikut terlibat dalam konvensi Marpol 73/78. Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut andil dalam konvensi ini.
Penerapan Marpol 73/78 Saat Ini
Seperti yang sudah disebutkan, aturan Marpol 73/78 masih berlaku hingga saat ini. Indonesia juga sudah melakukan ratifikasi regulasi ini, dari Annex I hingga Annex VI. Salah satu aturan yang ada dalam Marpol 73/78 adalah setiap pelabuhan harus memiliki fasilitas penerimaan limbah dengan tujuan mengurangi pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah kapal. Salah satu implementasi konvensi ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang telah diratifikasi itu dielaborasikan.
Tapi sayangnya, penerapan aturan Marpol 73/78 di Indonesia masih belum maksimal. Meskipun sudah melakukan ratifikasi konvensi-konvensi yang ada, masih ada regulasi yang belum terpenuhi yaitu membangun fasilitas penanganan limbah. Aturan ini juga berkaitan dengan jasa angkut sampah antar pulau, yang menjadi salah satu penyebab pencemaran sampah di laut.
Waste Credit dari Waste4Change
Menaati aturan yang telah ditetapkan seperti konvensi ini menjadi salah satu upaya mencegah pencemaran laut secara masif. Waste4Change memiliki layanan Waste Credit yang dapat membantu para produsen mengelola sampah mereka agar tidak berakhir di laut dan menyebabkan pencemaran. Selain produsen, layanan ini juga direkomendasikan untuk pelaku organisasi lingkungan.
Melalui layanan ini, Anda akan memperoleh keuntungan, di antaranya, transparansi data dan laporan dari setiap proses, lebih banyak sampah yang terkumpul dan didaur ulang. Layanan ini juga mendukung implementasi ekonomi sirkular, sehingga sampah tidak berakhir sia-sia dan berujung mencemari laut.