Sampah merupakan sisa dari kegiatan sehari-hari manusia, dan/atau proses alam berbentuk padat yang perlu ditangani secara tepat agar tidak mencemari lingkungan. Namun, proses penanganan sampah sering berjalan tidak semestinya.
Fakta menunjukkan ada lebih banyak sampah yang langsung berakhir di TPA. Padahal, TPA bukan tempat untuk mengolah sampah dan tidak semua sampah harus pergi kesana. Alhasil, beragam masalah pun datang mengganggu kondisi TPA.

Kelebihan kapasitas atau overload menjadi salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh TPA-TPA di Indonesia. Gunungan sampah terbuka itu berpotensi mencemari lingkungan, mulai dari tanah, udara, juga sumber air bagi warga sekitar.
Tidak hanya itu, tumpukan sampah yang semakin meninggi juga terancam mengalami longsor. Jika sudah begini, keberadaan TPA bagian dari solusi atau hanya sumber masalah yang perlu ditutup?
Contents
Apa itu Tempat Pemrosesan Akhir Sampah?
Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPA diartikan sebagai Tempat Pemrosesan Akhir yang berfungsi memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
TPA yang ada di Indonesia umumnya terdiri dari 3 metode penanganan, di antaranya open dumping, sanitary landfill, dan controlled landfill.
1. Open Dumping
Merupakan sistem dalam TPA di mana sampah diletakkan di tanah cekungan terbuka tanpa ditutup atau dilapisi dengan tanah. Cara ini dianggap paling sederhana, murah, dan mudah karena memanfaatkan topografi lahan.
Meskipun mudah dan murah, sayangnya metode open dumping dinilai lebih banyak memberikan dampak negatif dan membahayakan. Open dumping tidak lagi direkomendasikan karena kondisinya yang tidak lagi memenuhi syarat teknis suatu TPA sampah berdasarkan peraturan pemerintah.
Tanah cekungan terbuka tersebut membuat sampah dapat menghasilkan gas-gas dan cairan yang mengandung zat yang dapat menimbulkan reaksi biokimia. Dapat mengancam kualitas udara yang berdampak pada kesehatan dan mendorong perubahan iklim, cairan lindinya pun dapat mengkontaminasi sumber air warga.
Salah satu masalah yang timbul dari metode penanganan sampah open dumping adalah tragedi meledak dan longsornya TPA Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat. Gunungan sampah yang hanya ditumpuk tanpa diproses kembali itu merenggut 157 korban jiwa dan menghapus 2 desa sekitar. Menjadi tragedi persampahan terbesar kedua di dunia. Inilah alasan open dumping tidak lagi boleh digunakan oleh seluruh TPA di Indonesia.
2. Controlled Landfill
Metode ini menangani sampah dengan cara memadatkan dan meratakan sampah menggunakan alat berat, kemudian dilapisi dengan tanah setiap lima hari sampai seminggu sekali. Cara tersebut dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan, kestabilan permukaan TPA, mengurangi bau dan timbulnya gas metana, serta mencegah tempat pembuangan sampah menjadi perkembangbiakkan hewan lalat.
Untuk mendukung metode ini, diperlukan ketersediaan beberapa fasilitas, seperti alat berat, pengendali gas metana, saluran drainase, saluran pengumpul air lindi dan instansi pengolahannya, juga pos pengendalian operasional.
3. Sanitary Landfill
Adalah sistem pengelolaan sampah melalui cara menumpuk sampah di tanah cekungan, kemudian dipadatkan, dan ditimbun dengan tanah.
Sanitary landfill merupakan perbaikan dari berbagai metode yang ada. Penutupan dilakukan agar bau yang dihasilkan berkurang, mempercepat pembusukan, dan lahannya dapat dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau.
Tidak hanya itu, tujuan utama dari sanitary landfill adalah untuk memastikan sampah dan limbah aman dengan mengurangi bahayanya dan memungkinkan dekomposisi yang aman. Salah satunya adalah gas metana. Gas yang dihasilkan dari dekomposisi ini jika dikumpulkan secara aman dan ditangani dengan baik dapat menghasilkan listrik, berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah.
Syarat diselenggarakannya sanitary landfill adalah tersedia tempat yang luas, tanah untuk menimbun, dan alat-alat besar untuk meratakan sampah.
Sanitary landfill terdiri dari beberapa lapisan, diantaranya lapisan pertama sebagai sistem liner atau pondasi padat mencegah bocornya cairan, lapisan kedua adalah sistem drainase untuk menangani cairan hasil penguraian campuran sampah yang berpotensi toksik. Lapisan ketiga adalah sistem pengumpulan gas dimana terdapat pipa ekstraksi yang memerangkap gas untuk diolah menjadi listrik. Dan lapisan terakhir atau lapisan paling atas adalah sampah itu sendiri.
Apa Fungsi dari TPA?
Secara fungsi, TPA adalah lokasi atau lahan kosong yang dipersiapkan pemerintah sebagai tempat menampung sampah atau puing-puing sisa. Menurut Pandu Priambodo selaku External Government Partnership Waste4Change, terdapat berbagai bentuk dari TPA sesuai kapasitas dan peruntukannya. Sebelum digunakan, TPA harus memenuhi berbagai syarat dengan tujuan untuk mencegah pencemaran lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Melakukan isolasi sampah menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan sebelum mengoperasikan TPA. Manfaatnya untuk mencegah pertumbuhan vektor penyakit, mencegah pencemaran udara akibat gas metana, dan pencemaran air akibat cairan lindi sampah.
Pembuatan TPA sampah sendiri tidaklah murah. Diperlukan dana yang cukup dan kajian yang matang agar nantinya TPA dapat menampung sampah-sampah dari masyarakat yang jumlahnya sangat banyak.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 450 TPA yang beroperasi hingga saat ini. Sayangnya, sebagian besarnya masih menerapkan open dumping sebagai metode dalam menangani sampah. Padahal, pemerintah sendiri telah menargetkan bahwa pada 2013 semua daerah harus menjalankan TPA dengan sistem sanitary landfill. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2009 pasal 44 dan 45. Diharapkan dapat segera terlaksana pengelolaan sampah yang lebih baik di Indonesia.
Bagaimana Kondisi TPA di Indonesia?
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2021 sampah di Indonesia mencapai 68,5 juta ton. Dari angka tersebut, sebanyak 69% sampah masuk ke TPA. Hanya sekitar 7% saja sampah yang berhasil terdaur ulang. Menunjukkan bahwa ada banyak sampah belum terkelola dengan baik.
Bukti di atas seharusnya menjadi alarm bagi siapapun akan bahaya sampah tidak terkelola. Pasalnya, sampah yang menumpuk di TPA dapat mengancam usia dan kapasitas dari TPA tersebut. Menyebabkan masalah kelebihan kapasitas sehingga tidak ada lagi ruang tersedia untuk ‘menaruh’ sampah sisa kegiatan manusia atau alam.
Saka Dwi Hanggara selaku Solid Waste Management Campaign Expert dari Waste4Change, menjelaskan bahwa berdasarkan data BPS, 89% masyarakat Indonesia belum melakukan pemilahan sampah. Alhasil, semua sampah bercampur jadi satu dan menjadikannya tidak dapat didaur ulang. Padahal, bisa jadi ada sampah di sana yang masih bernilai dan bisa diolah kembali.
Diketahui, cukup banyak TPA di Indonesia yang mengalami overload atau kelebihan muatan. Terlebih bagi TPA-TPA regional yang menampung sampah dari banyak wilayah di sekitarnya. Seperti yang terjadi di TPA Piyungan, Bantul, DIY, di mana dua zona di TPA tersebut dianggap tidak mampu lagi menampung sampah dari masyarakat.
TPA dengan luas lahan 12,5 hektar yang setiap harinya menerima 700 ton sampah dari Bantul, Sleman, dan Yogyakarta ini disebut perlu diperluas untuk menangani masalah sampah di wilayah Yogyakarta.
TPA Bagian dari Solusi atau Bukan?
Meski sudah dirancang dengan baik, keberadaan TPA sebagai salah satu bagian dari proses penanganan sampah masih banyak menimbulkan masalah. Berbagai masalah tersebut membuat banyak orang bertanya-tanya, tepatkah TPA menjadi bagian dari solusi dalam menangani sampah? Lalu bagaimana seharusnya sebuah TPA dijalankan?
Elma Elkarim selaku Solid Waste Management Consultant dari Waste4Change menjelaskan, TPA sejatinya merupakan bagian penting dari solusi penanganan sampah. TPA menjadi sebuah pelayanan dasar dari pemerintah bagi masyarakat untuk membantu mengurangi sampah di sumber dan menangani sampah secara tepat. Namun, TPA tidak bisa menjadi solusi utama yang dapat diandalkan untuk atasi masalah sampah.
“Aktivitas kumpul-angkut-buang sampah pada TPA tidak bisa selamanya dilakukan. Meskipun metodenya mudah dan murah, karena sampah dari masyarakat hanya perlu dipindahkan dari sumber ke lahan TPA, tapi perlu diingat bahwa meningkatnya populasi manusia akan berimbas pada populasi sampah yang dihasilkan. Sampai kapan manusia bisa bergantung pada lahan-lahan kosong yang akan dikorbankan menjadi TPA lagi,” jelas Elma.
Salah Satu Bukan Satu-Satunya
Saka juga menambahkan, “TPA memang seharusnya menjadi one of the solution, bukan the only solution dalam menangani masalah sampah. Bersamaan dengan adanya TPA, harus dijalankan upaya penanganan lain, seperti pengurangan sampah dari sumber dan pemrosesan sampah sebelum masuk TPA (pemilahan sampah dan daur ulang). Sehingga nantinya yang masuk ke TPA hanya sampah spesifik yang tidak bisa didaur ulang kembali.”
Kategori sampah yang tidak bisa didaur ulang atau biasa disebut sampah residu bisa jadi variatif di berbagai daerah. Elma mengatakan, “bukan karena materialnya, sampah residu seringkali disebut tidak dapat didaur ulang apabila belum ada fasilitas atau teknologi daur ulang yang mumpuni yang mampu mengolah kembali sampah tersebut. Selain itu juga, bisa jadi karena sampah residu belum dirasa berharga dan potensial untuk dimanfaatkan kembali bagi pihak-pihak penyedia daur ulang. Di titik ini, maka TPA dibutuhkan untuk menampung sampah-sampah residu yang belum tersedia fasilitas daur ulangnya.”
Pandu menambahkan, “Belum semua daerah tersedia fasilitas pengolahan atau daur ulang sampah, sehingga TPA dapat menjalankan fungsinya menampung sampah yang tidak bisa diolah kembali. Jadi, jika ada material bekas pakai yang masih bisa dimanfaatkan kembali maka perlu diolah kembali. Sehingga dapat mengurangi beban TPA dan memperpanjang usianya.”
Bagaimana Menangani Masalah Sampah di TPA?
Pada dasarnya, penanganan masalah sampah bukan hanya tugas satu pihak saja. Mulai dari masyarakat, pemilik usaha, hingga pemerintahan punya kewajiban yang sama dengan tugasnya masing-masing, melakukan upaya mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Program Indonesia Bebas Sampah 2025 telah menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70% pada 2025.
Pemerintah mendorong pemerintah daerah dan masyarakat ikut berperan dengan mulai mengurangi sampah dari sumber, mengoptimalisasi kegiatan daur ulang melalui bank sampah dan TPS 3R, serta meningkatkan pemrosesan sampah di TPA.
Kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah bertanggung jawab, pengetahuan mengenai penanganan sampah yang tepat, serta kemauan untuk berubah ke arah yang lebih baik juga dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap masalah sampah di Indonesia.
Semua orang harus bekerja sama, saling berkolaborasi, untuk membantu menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang lebih baik dan sehat. Mewujudkan Indonesia yang lebih nyaman untuk ditinggali
“Ada yang bilang, pemilahan sampah adalah gerbang penyelesaian dari semua masalah sampah. Dengan memilah, sampah menuju TPA bisa dikurangi, material berharga bisa diolah kembali, sehingga dapat terwujud kegiatan pengelolaan sampah berbasis ekonomi melingkar.” tutup Saka.
Masih banyak lagi perbincangan seru antara Pandu, Elma, dan Saka sebagai ahli dari Waste4Change terkait manfaat dari keberadaan TPA sebagai bagian dari penanganan sampah. Untuk tayangan dan obrolan selengkapnya, kamu dapat saksikan secara mendetail di YouTube Waste4Change pada link di sini serta Podcast Waste4Change pada link berikut ini.
Mari berkenalan dengan Para Expert dari Waste4Change!



Elma Elkarim
Solid Waste Management Consultant Waste4Change



Saka Dwi Hanggara
Solid Waste Management Campaign Expert Waste4Change



Pandu Priambodo
External Government Partnership Waste4Change